Undang-undang tentang ketentuanketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup disahkan oleh Presiden pada tanggal 11 Maret 1982. Undang-undang ini berisi 9 Bab terdiri dari 24 pasal.
Pada 11 Maret 1982, diundangkan sebuah produk hukum mengenai pengelolaan lingkungan, dengan nama Undang-Undang No 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, sering disingkat dengan UUPLH. Dengan hadirnya UU Lingkungan ini, terbukalah lembaran baru bagi kebijaksanaan lingkungan hidup di Indonesia, guna terciptanya pengendalian kondisi lingkungan yang memiliki harmoni yang baik dengan dimensi-dimensi pembangunan.
UU No 4 Tahun 1982, mengandung ketentuan-ketentuan pokok sebagai dasar bagi peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian, UU ini berfungsi sebagai ketentuan payung (umbrella provision) bagi peraturan perundangan lingkungan hidup lainnya, termasuk pula menjadi dasar dan landasan bagi pembaruan hukum dan penyesuaian peraturan-peraturan perundangan yang sudah lama (Danusaputro, 1982:25).
Kemudian, dengan banyaknya pekembangan mengenai konsep dan pemikiran mengenai masalah lingkungan, dengan mengingat hasil-hasil yang dicapai masyarakat dunia melalui KTT Rio tahun 1992, dirasakan UU No 4 Tahun 1982 sudah tidak banyak iagi menjangkau perkembangan-perkembangan yang ada, sehingga perlu ditinjau dengan membuat penggantinya. Untuk itulah lima tahun kemudian setelah berlangsungnya KTT Rio, dibuat UUPLH yang baru sebagai pengganti UU No 4 Tahun 1982, yakni UU No 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, diundangkan tanggal 19 September 1997 melalui Lembaran Negara No 68 Tahun 1997.
UUPLH baru atau UU No 23 Tahun 1997 memuat berbagai pengaturan sebagai respons terhadap berbagai kebutuhan yang berkembang yang tidak mampu diatasi melalui UU No 4 Tahun 1982. Demikian juga UU baru ini dimaksudkan untuk menyerap nilai-nilai yang bersifat keterbukaan, paradigma pengawasan masyarakat asas pengelolaan dan kekuasaan Negara berbasis kepentingan publik (bottom-up), akses publik terhadap manfaat sumber daya alam, dan keadilan lingkungan (environmental justice).
UUPLH menjadi dasar bagi semua pengelolaan lingkungan. Dengan demikian berbagai pengaturan mengenai pengelolaan lingkungan, mengacu kepada UUPLH. Permasalahannya, bagaimana dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat teknis yang telah ada UU-nya tersendiri. Misalnya di bidang pertanahan ada UUPA No. 5 Tahun 1960, di bidang air ada UU No. 7 Tahun 2004, di bidang penataan ruang ada UU No. 26 Tahun 2007, di bidang kehutanan, ada UU No. 41 Tahun 1999, dan lain-lain.
Semua peraturan perundang-undangan tersebut harus memiliki sinkronisasi dan tidak tumpang tindih. Pada legislasi nasional telah mencegah keadaan tumpang tindih berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun apabila masih tetap terjadi keadaan-keadaan seperti kesenjangan peraturan, tumpang tindih, penafsiran ganda, dan lain-lain, dapat diatasi dengan berpedoman kepada asas-asas:
1. Lex specialis derogat legi generalis, yakni mengutamakan undang undang khusus
2. Lex superiors derogat legi inferiors, dengan mengutamakan UU/ Peraturan yang lebih tinggi;
3. Lex posteriori derogat legi priori, yakni menggunakan UU/Ketentuan yang lebih baru dan mengenyampingkan UU/Ketentuan yang terdahulu.
UU No 23 Tabun 1997, memang belum berperan maksimal sebagai dasar menangani masalah lingkungan dalam hubungannya dengan pembangunan. Demikian pula dengan konsep-konsep yang dicapai dalam Deklarasi Rio, belum banyak yang diserap sebagai instrumen hukum dan kebijakan menata lingkungan. Namun dari segi landasan hukum, UU ini dapat dikatakan sudah cukup lebih baik dari UU sebelumnya.
Berbagai aspek penanganan lingkungan di Indonesia masih terus dilakukan. Penanganannya terutama dengan pelaksanaan prinsip-prinsip UUPLH, di samping mengimplementasikan perkembangan-perkembangan yang bersifat global, seperti hasil-hasil KTT Rio 1992, KTT Johannesburg 2002, dan berbagai konvensi internasional mengenai aspek lingkungan. Ratifikasi telah dilakukan atas berbagai konvensi internasional, baik yang dihasilkan oleh KTT Rio maupun konvensi lain, sebagai langkah untuk memudahkan pelaksanaan kebijakan lingkungan di Indonesia.
Agenda 21 KTT Rio sudah diimplementasikan dalam Agenda 21 Indonesia atau Agenda 21 Nasional sebagai sarana inspirasi pada rencana pembangunan. Agenda 21 Nasional kemudian diimplementasi pada Agenda 21 Propinsi dan Agenda 21 Kabupaten/Kota yang mencakup semua bidang untuk dikerangkakan kepada perencanaan daerah masing-masing.
Undang-undang lingkungan hidup bertujuan mencegah kerusakan lingkungan, meningkatkan kualitas lingkungan hidup, dan menindak pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan rusaknya lingkungan.
Undang-undang lingkungan hidup antara lain berisi hak, kewajiban, wewenang dan ketentuan pidana yang meliputi berikut ini.
1. Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 2. Setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan
3. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Peran serta tersebut diatur dengan perundang-undangan. 4. Barang siapa yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup diancam pidana penjara atau denda.
Upaya pengelolaan yang telah digalakkan dan undang-undang yang telah dikeluarkan belumlah berarti tanpa didukung adanya kesadaran manusia akan arti penting lingkungan dalam rangka untuk meningkatkan kualitas lingkungan serta kesadaran bahwa lingkungan yang ada saat ini merupakan titipan dari generasi yang akan datang.
Pada 11 Maret 1982, diundangkan sebuah produk hukum mengenai pengelolaan lingkungan, dengan nama Undang-Undang No 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, sering disingkat dengan UUPLH. Dengan hadirnya UU Lingkungan ini, terbukalah lembaran baru bagi kebijaksanaan lingkungan hidup di Indonesia, guna terciptanya pengendalian kondisi lingkungan yang memiliki harmoni yang baik dengan dimensi-dimensi pembangunan.
UU No 4 Tahun 1982, mengandung ketentuan-ketentuan pokok sebagai dasar bagi peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian, UU ini berfungsi sebagai ketentuan payung (umbrella provision) bagi peraturan perundangan lingkungan hidup lainnya, termasuk pula menjadi dasar dan landasan bagi pembaruan hukum dan penyesuaian peraturan-peraturan perundangan yang sudah lama (Danusaputro, 1982:25).
Kemudian, dengan banyaknya pekembangan mengenai konsep dan pemikiran mengenai masalah lingkungan, dengan mengingat hasil-hasil yang dicapai masyarakat dunia melalui KTT Rio tahun 1992, dirasakan UU No 4 Tahun 1982 sudah tidak banyak iagi menjangkau perkembangan-perkembangan yang ada, sehingga perlu ditinjau dengan membuat penggantinya. Untuk itulah lima tahun kemudian setelah berlangsungnya KTT Rio, dibuat UUPLH yang baru sebagai pengganti UU No 4 Tahun 1982, yakni UU No 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, diundangkan tanggal 19 September 1997 melalui Lembaran Negara No 68 Tahun 1997.
UUPLH baru atau UU No 23 Tahun 1997 memuat berbagai pengaturan sebagai respons terhadap berbagai kebutuhan yang berkembang yang tidak mampu diatasi melalui UU No 4 Tahun 1982. Demikian juga UU baru ini dimaksudkan untuk menyerap nilai-nilai yang bersifat keterbukaan, paradigma pengawasan masyarakat asas pengelolaan dan kekuasaan Negara berbasis kepentingan publik (bottom-up), akses publik terhadap manfaat sumber daya alam, dan keadilan lingkungan (environmental justice).
UUPLH menjadi dasar bagi semua pengelolaan lingkungan. Dengan demikian berbagai pengaturan mengenai pengelolaan lingkungan, mengacu kepada UUPLH. Permasalahannya, bagaimana dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat teknis yang telah ada UU-nya tersendiri. Misalnya di bidang pertanahan ada UUPA No. 5 Tahun 1960, di bidang air ada UU No. 7 Tahun 2004, di bidang penataan ruang ada UU No. 26 Tahun 2007, di bidang kehutanan, ada UU No. 41 Tahun 1999, dan lain-lain.
Semua peraturan perundang-undangan tersebut harus memiliki sinkronisasi dan tidak tumpang tindih. Pada legislasi nasional telah mencegah keadaan tumpang tindih berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun apabila masih tetap terjadi keadaan-keadaan seperti kesenjangan peraturan, tumpang tindih, penafsiran ganda, dan lain-lain, dapat diatasi dengan berpedoman kepada asas-asas:
1. Lex specialis derogat legi generalis, yakni mengutamakan undang undang khusus
2. Lex superiors derogat legi inferiors, dengan mengutamakan UU/ Peraturan yang lebih tinggi;
3. Lex posteriori derogat legi priori, yakni menggunakan UU/Ketentuan yang lebih baru dan mengenyampingkan UU/Ketentuan yang terdahulu.
UU No 23 Tabun 1997, memang belum berperan maksimal sebagai dasar menangani masalah lingkungan dalam hubungannya dengan pembangunan. Demikian pula dengan konsep-konsep yang dicapai dalam Deklarasi Rio, belum banyak yang diserap sebagai instrumen hukum dan kebijakan menata lingkungan. Namun dari segi landasan hukum, UU ini dapat dikatakan sudah cukup lebih baik dari UU sebelumnya.
Berbagai aspek penanganan lingkungan di Indonesia masih terus dilakukan. Penanganannya terutama dengan pelaksanaan prinsip-prinsip UUPLH, di samping mengimplementasikan perkembangan-perkembangan yang bersifat global, seperti hasil-hasil KTT Rio 1992, KTT Johannesburg 2002, dan berbagai konvensi internasional mengenai aspek lingkungan. Ratifikasi telah dilakukan atas berbagai konvensi internasional, baik yang dihasilkan oleh KTT Rio maupun konvensi lain, sebagai langkah untuk memudahkan pelaksanaan kebijakan lingkungan di Indonesia.
Agenda 21 KTT Rio sudah diimplementasikan dalam Agenda 21 Indonesia atau Agenda 21 Nasional sebagai sarana inspirasi pada rencana pembangunan. Agenda 21 Nasional kemudian diimplementasi pada Agenda 21 Propinsi dan Agenda 21 Kabupaten/Kota yang mencakup semua bidang untuk dikerangkakan kepada perencanaan daerah masing-masing.
Undang-undang lingkungan hidup bertujuan mencegah kerusakan lingkungan, meningkatkan kualitas lingkungan hidup, dan menindak pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan rusaknya lingkungan.
Undang-undang lingkungan hidup antara lain berisi hak, kewajiban, wewenang dan ketentuan pidana yang meliputi berikut ini.
1. Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 2. Setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan
3. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Peran serta tersebut diatur dengan perundang-undangan. 4. Barang siapa yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup diancam pidana penjara atau denda.
Upaya pengelolaan yang telah digalakkan dan undang-undang yang telah dikeluarkan belumlah berarti tanpa didukung adanya kesadaran manusia akan arti penting lingkungan dalam rangka untuk meningkatkan kualitas lingkungan serta kesadaran bahwa lingkungan yang ada saat ini merupakan titipan dari generasi yang akan datang.
<< sebelumnya ... materi ... Selanjutnya >>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar